Seni dan Tanggung Jawab Seniman
Rabu, Februari 26, 2014
Sebuah dialog singkat terjadi antara saya dengan seorang ustadz pengasuh sebuah pondok pesantren mahasiswa di wedomartani, ngemplak, beberapa waktu yang lalu. Saya berkata: "ustadz, tadi tukang yang menggarap pembuatan kelas di pondok lapor kepada saya bahwa satu sak semen hilang". Ustadz menjawab: "semennya diletakkan dimana?", saya jawab: "disitu" sambil menunjuk sisi luar asrama. Pembicaraan ini ditutup dengan ucapan ustadz: "jangan salahkan yang mengambil semen, tapi salahkan siapa yang meletakkan semen itu di luar".
Bagi saya, dialog ini memberi makna mendalam yang sebenarnya sudah sangat sering kita dapatkan dari berbagai sumber, bahwa segala sesuatu itu sering kali tidak seperti apa yang terlihat. Ada begitu banyak makna tersembunyi dari berbagai peristiwa yang sangat sering tidak kita fahami sama sekali. Namun, orang-orang bijak sering kali mampu melihat hal-hal yang tersembunyi tersebut. Dalam sebuah riwayat, diceritakan bagaimana seorang khalifah yang menjadi hakim dalam kasus pencurian yang melibatkan dua orang yang saling bertetangga. Orang pertama, yang menjadi korban pencurian, merupakan orang yang kaya raya. Orang kedua, yang menjadi pelaku pencurian, merupakan orang yang fakir lagi miskin sehingga ia bahkan tidak bisa memberi makan keluarganya. Putusan yang dijatuhkan oleh sang khalifah setelah mendengarkan keterangan dari kedua pihak dan saksi-saksi membuat banyak pihak terkejut, karena sang khalifah membebaskan si pencuri dan memberi teguran keras kepada si korban pencurian. Teguran dari sang khalifah kurang lebih demikian: "jika sampai tetanggamu (si pencuri) melakukan pencurian lagi maka tanganmu yang saya potong (dimasa itu, hukuman bagi pencuri adalah potong tangan). Sepintas, tindakan sang khalifah tentu sangat aneh karena korban pencurian malah ditekan, sementara pelaku pencurian dibebaskan. Ternyata sang khalifah 'membaca' hal lain dalam kejadian ini. Dia melihat bahwa si korban merupakan orang kaya tetapi tidak peduli dengan kemiskinan yang ada disekitarnya, sementara si pencuri hanyalah seorang fakir miskin yang terdesak tanggung jawab untuk memberi makan keluarganya. Dalam kedua posisi tersebut, si pencuri justru merupakan orang yang bertanggung jawab, sementara si korban adalah orang yang tidak peduli dan tidak mau bertanggung jawab dengan kekayaan yang dimilikinya bahwa sebenarnya dalam setiap harta yang dimiliki seseorang selalu ada hak orang lain didalamnya. Demikianlah kaidah Islam ditegakkan, dimana hikmah terkadang lebih diutamakan dibandingkan dengan aturan formal.
Cerita relatif panjang di atas merupakan pembanding yang ingin penulis pakai untuk menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang berkesenian dalam persepsi penulis. Seni dan seniman haruslah menjadi sesuatu dan seseorang yang mampu menampilkan 'keindahan yang bertanggung jawab'. Seniman tidak bisa menjadi manusia-manusia arogan yang demi ego pribadinya kemudian mengatasnamakan seni untuk melakukan apapun yang dikehendakinya. Dalam cerita pertama di atas, seniman jangan sampai memposisikan diri sebagai orang yang meletakkan karung semen di luar asrama, atau dalam cerita kedua menjadi orang kaya yang tidak peduli dengan sekelilingnya. Memang semua orang memiliki hak untuk melakukan apapun yang dikehendakinya, akan tetapi jika kita pelajari lagi ternyata dalam semua tertib bermasyarakat mulai dari zaman purba hingga sistem modern yang berupa demokrasi, sosialis, atau pun relijius, semua memiliki batasan berupa hak orang lain meskipun dengan standar yang berbeda-beda. Disebuah negara super liberal seperti Amerika Serikat misalnya tetap saja tayangan yang mengandung unsur-unsur pornografi tidak boleh ditayangkan dijam-jam yang secara umum anak-anak dibawah umur menonton TV. Hal ini berarti hak para pelaku seni TV di Amerika Serikat diberi batas oleh hak anak-anak disana untuk menonton sesuatu yang bersesuain dengan usia yang mereka miliki. Namun, mengapa di Indonesia justru adegan-adegan pornografi dapat ditemui dihampir semua jam tayang, mulai dari iklan yang muncul hingga pembawa acara yang kadang berpakaian cukup 'saru' untuk ukuran anak kecil. Dunia TV penuh dengan pelaku seni, mulai dari penulis skenario, juru kamera, sutradara, juru lampu, penata artistik, penata rias, hingga produser. Orang-orang ini seharusnya berupaya untuk menciptakan karya seni yang membangun jiwa bangsa dan bukan justru merusak.
Beberapa waktu yang lalu seorang ulama di Australia dikecam karena pernyataannya tentang pakaian sexy wanita lah yang menyebabkan banyak terjadi kasus pemerkosaan. Disatu sisi mungkin kita bisa melihat pernyataan ini menyinggung para wanita karena merekalah korban pemerkosaan, dan disaat yang bersamaan justru mereka dipersalahkan sebagai penyebab kasus pemerkosaan. Kaum wanita merasa dipersalahkan berlipat, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Namun disisi lain, kita tidak bisa menutup mata bahwa pakaian sexy kaum wanita memang memiliki andil akan terjadinya kasus-kasus pemerkosaan, meskipun tidak bisa 100% dijadikan alasan, karena tetap saja ada faktor niat buruk, dan lainnya dari pihak pelaku pemerkosaan yang menjadi alasan. Bukankah Bang Napi sudah mengingatkan kita 'kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. waspadalah waspadalah'. Dibagian ini, para pelaku seni yang diwakili perancang mode seharusnya turut mempertimbangkan faktor 'kesempatan' yang ditimbulkan dari rancangannya sehingga mereka harus membuat rancangan yang dapat dipertanggungjawabkan pula secara moral.
Saya tidak ingin menyalahkan atau berdebat dengan siapapun. Tulisan ini hanya ingin mengajak para pelaku seni untuk kembali memikirkan faktor tanggung jawab dalam berkarya, agar bangsa ini menjadi besar melalui perbaikan yang dilakukan para seniman dan bukan justru makin terpuruk dengan keburukan yang diajarkan melalui seni. Bukankah seni merupakan salah satu alat paling efektif untuk merubah budaya buruk masyarakat, seperti yang dicontohkan Sunan Kalijaga dengan syair-syair serta wayang kulitnya. Mengapa seniman Indonesia zaman ini tidak lebih berkonsentrasi pada karya yang berupaya merubah budaya instan pada masyarakat, agar bangsa ini menjadi pekerja keras, dan bukan malah mengajarkan berkhayal mendapat warisan, menikah dengan orang kaya, atau mendapat undian milyaran. Mengapa tidak berkonsentrasi pada pengajaran melalui seni yang mengajarkan sikap anti korupsi, anti pembalakan liar, anti membuang sampah sembarangan, dan anti berbagai budaya buruk lainnya. Jangan-jangan seniman Indonesia sudah terkooptasi oleh 'industri hiburan' sehingga tanggung jawab untuk membawa kebaikan tidak lagi menjadi penting jika harus bertentangan dengan kecenderungan pasar atau kehendak produser. Semoga tidak.
Bagi saya, dialog ini memberi makna mendalam yang sebenarnya sudah sangat sering kita dapatkan dari berbagai sumber, bahwa segala sesuatu itu sering kali tidak seperti apa yang terlihat. Ada begitu banyak makna tersembunyi dari berbagai peristiwa yang sangat sering tidak kita fahami sama sekali. Namun, orang-orang bijak sering kali mampu melihat hal-hal yang tersembunyi tersebut. Dalam sebuah riwayat, diceritakan bagaimana seorang khalifah yang menjadi hakim dalam kasus pencurian yang melibatkan dua orang yang saling bertetangga. Orang pertama, yang menjadi korban pencurian, merupakan orang yang kaya raya. Orang kedua, yang menjadi pelaku pencurian, merupakan orang yang fakir lagi miskin sehingga ia bahkan tidak bisa memberi makan keluarganya. Putusan yang dijatuhkan oleh sang khalifah setelah mendengarkan keterangan dari kedua pihak dan saksi-saksi membuat banyak pihak terkejut, karena sang khalifah membebaskan si pencuri dan memberi teguran keras kepada si korban pencurian. Teguran dari sang khalifah kurang lebih demikian: "jika sampai tetanggamu (si pencuri) melakukan pencurian lagi maka tanganmu yang saya potong (dimasa itu, hukuman bagi pencuri adalah potong tangan). Sepintas, tindakan sang khalifah tentu sangat aneh karena korban pencurian malah ditekan, sementara pelaku pencurian dibebaskan. Ternyata sang khalifah 'membaca' hal lain dalam kejadian ini. Dia melihat bahwa si korban merupakan orang kaya tetapi tidak peduli dengan kemiskinan yang ada disekitarnya, sementara si pencuri hanyalah seorang fakir miskin yang terdesak tanggung jawab untuk memberi makan keluarganya. Dalam kedua posisi tersebut, si pencuri justru merupakan orang yang bertanggung jawab, sementara si korban adalah orang yang tidak peduli dan tidak mau bertanggung jawab dengan kekayaan yang dimilikinya bahwa sebenarnya dalam setiap harta yang dimiliki seseorang selalu ada hak orang lain didalamnya. Demikianlah kaidah Islam ditegakkan, dimana hikmah terkadang lebih diutamakan dibandingkan dengan aturan formal.
Cerita relatif panjang di atas merupakan pembanding yang ingin penulis pakai untuk menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang berkesenian dalam persepsi penulis. Seni dan seniman haruslah menjadi sesuatu dan seseorang yang mampu menampilkan 'keindahan yang bertanggung jawab'. Seniman tidak bisa menjadi manusia-manusia arogan yang demi ego pribadinya kemudian mengatasnamakan seni untuk melakukan apapun yang dikehendakinya. Dalam cerita pertama di atas, seniman jangan sampai memposisikan diri sebagai orang yang meletakkan karung semen di luar asrama, atau dalam cerita kedua menjadi orang kaya yang tidak peduli dengan sekelilingnya. Memang semua orang memiliki hak untuk melakukan apapun yang dikehendakinya, akan tetapi jika kita pelajari lagi ternyata dalam semua tertib bermasyarakat mulai dari zaman purba hingga sistem modern yang berupa demokrasi, sosialis, atau pun relijius, semua memiliki batasan berupa hak orang lain meskipun dengan standar yang berbeda-beda. Disebuah negara super liberal seperti Amerika Serikat misalnya tetap saja tayangan yang mengandung unsur-unsur pornografi tidak boleh ditayangkan dijam-jam yang secara umum anak-anak dibawah umur menonton TV. Hal ini berarti hak para pelaku seni TV di Amerika Serikat diberi batas oleh hak anak-anak disana untuk menonton sesuatu yang bersesuain dengan usia yang mereka miliki. Namun, mengapa di Indonesia justru adegan-adegan pornografi dapat ditemui dihampir semua jam tayang, mulai dari iklan yang muncul hingga pembawa acara yang kadang berpakaian cukup 'saru' untuk ukuran anak kecil. Dunia TV penuh dengan pelaku seni, mulai dari penulis skenario, juru kamera, sutradara, juru lampu, penata artistik, penata rias, hingga produser. Orang-orang ini seharusnya berupaya untuk menciptakan karya seni yang membangun jiwa bangsa dan bukan justru merusak.
Beberapa waktu yang lalu seorang ulama di Australia dikecam karena pernyataannya tentang pakaian sexy wanita lah yang menyebabkan banyak terjadi kasus pemerkosaan. Disatu sisi mungkin kita bisa melihat pernyataan ini menyinggung para wanita karena merekalah korban pemerkosaan, dan disaat yang bersamaan justru mereka dipersalahkan sebagai penyebab kasus pemerkosaan. Kaum wanita merasa dipersalahkan berlipat, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Namun disisi lain, kita tidak bisa menutup mata bahwa pakaian sexy kaum wanita memang memiliki andil akan terjadinya kasus-kasus pemerkosaan, meskipun tidak bisa 100% dijadikan alasan, karena tetap saja ada faktor niat buruk, dan lainnya dari pihak pelaku pemerkosaan yang menjadi alasan. Bukankah Bang Napi sudah mengingatkan kita 'kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. waspadalah waspadalah'. Dibagian ini, para pelaku seni yang diwakili perancang mode seharusnya turut mempertimbangkan faktor 'kesempatan' yang ditimbulkan dari rancangannya sehingga mereka harus membuat rancangan yang dapat dipertanggungjawabkan pula secara moral.
Saya tidak ingin menyalahkan atau berdebat dengan siapapun. Tulisan ini hanya ingin mengajak para pelaku seni untuk kembali memikirkan faktor tanggung jawab dalam berkarya, agar bangsa ini menjadi besar melalui perbaikan yang dilakukan para seniman dan bukan justru makin terpuruk dengan keburukan yang diajarkan melalui seni. Bukankah seni merupakan salah satu alat paling efektif untuk merubah budaya buruk masyarakat, seperti yang dicontohkan Sunan Kalijaga dengan syair-syair serta wayang kulitnya. Mengapa seniman Indonesia zaman ini tidak lebih berkonsentrasi pada karya yang berupaya merubah budaya instan pada masyarakat, agar bangsa ini menjadi pekerja keras, dan bukan malah mengajarkan berkhayal mendapat warisan, menikah dengan orang kaya, atau mendapat undian milyaran. Mengapa tidak berkonsentrasi pada pengajaran melalui seni yang mengajarkan sikap anti korupsi, anti pembalakan liar, anti membuang sampah sembarangan, dan anti berbagai budaya buruk lainnya. Jangan-jangan seniman Indonesia sudah terkooptasi oleh 'industri hiburan' sehingga tanggung jawab untuk membawa kebaikan tidak lagi menjadi penting jika harus bertentangan dengan kecenderungan pasar atau kehendak produser. Semoga tidak.
Penulis: M. Aga S.
Published: edisi cetak Koran Merapi, Jumat, 23 Maret 2007
Published: edisi cetak Koran Merapi, Jumat, 23 Maret 2007
0 komentar