UMMAT ISLAM INDONESIA DIJADIKAN GELANDANGAN DI NEGERINYA SENDIRI
Selasa, November 15, 2016Tulisan Cak Nun yang mungkin agak njelimet & panjang, tapi kurang lebih mewakili kondisi dan perasaan sebagian umat Islam Indonesia saat ini.
-------------------------------------------
Andaikan kalah di satu pertempuran (battle), tidak mengagetkan bagi pasukan yang bersiap menjalani peperangan (war) yang panjang. Rakaat pertama yang umpamanya kurang utuh, pasti mendorong rakaat-rakaat berikutnya akan menjadi lebih utuh dan khusyu. Ummat Islam Indonesia tidak memuncakkan perjuangannya pada 4 November 2016, sebab mereka menata nafas untuk Jurus Rakaat Panjang dalam sejarahnya yang penuh tantangan, ancaman dan penderitaan.
Selama ini saya diberi gambaran bahwa sesudah pemecah-belahan Uni Sovyet, Balkanisasi dan Arab Spring, sekarang ada formasi baru persekongkolan internasional yang bekerja keras dan sangat strategis untuk menghancurkan Islam dan Indonesia. Kemudian agak lebih mengarah: merampok kekayaan Negara Indonesia, dengan cara memecah belah Bangsa Indonesia dan utamanya Ummat Islam. Sekarang tampaknya semakin terlihat penggambaran baru yang lebih spesifik dan akurat.
Yakni bahwa NKRI bukan akan dihancurkan, melainkan dimakmurkan,
tetapi bukan untuk rakyat Indonesia. Kedaulatan politik, bangunan
konstitusi, pasal-pasal hukum, tanah dan modal, alat-alat produksi,
serta berbagai perangkat kehidupan dan penghidupan – tidak lagi berada
di tangan kedaulatan Bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia tetap dikasih
makan dan bisa ikut kecipratan sedikit kemakmuran, asalkan rela menjadi
pembantu rumahtangga, karyawan, kuli, khadam dan jongos yang setia dan patuh kepada Penguasa baru NKRI, yang merupakan kongsi dari Dua Adidaya dunia. Syuraqoh, alias keserakahan, diteknokrasi sedemikian rupa.
Sukar saya hindari penglihatan bahwa yang paling sengsara di
antara bangsa dan rakyat Indonesia adalah Ummat Islam, karena mereka
didera dua penjajahan. Di samping ada paket penguasaan atas NKRI,
terdapat juga disain untuk mendevaliditasi Islam di kalangan pemeluknya.
Ini berposisi sebagai cara atau strategi penguasaan NKRI, maupun
sebagai tujuan itu sendiri untuk memaksimalkan deIslamisasi kehidupan
bangsa Indonesia. NKRI tidak boleh menjadi Negara Islam, artinya boleh
menjadi Negara Agama selain Islam.
Hampir selama 40 tahun, intensif 20-an tahun belakangan, saya
keliling jumpa rakyat rata-rata 10.000 orang perminggu, untuk ikut
memelihara keIndonesiaan, keutuhan NKRI, persatuan dan kesatuan antar
golongan apapun yang dinding-dindingnya mungkin etnik, agama, parpol,
madzhab, aliran, muara-muara kepentingan, segmen-segmen dan level.
Agenda saya adalah membesarkan hati mereka, merabuki optimisme
penghidupan dan keyakinan akan masa depan mereka. Kalau orang bilang
pluralisme, mereka saya himpun dan ayomi sebagai semacam keindahan
orkestrasi. Kalau disebut toleransi, saya carikan formula, aransemen,
modulasi sosial untuk puzzling dan saling paham atas batas-batas di tengah kemerdekaan.
Kalau ada kelompok terlibat bentrok dengan lainnya, saya disuruh
menambal dan menyatukan kembali. Kalau ada yang diserbu, saya ditugasi
untuk menyiapkan segala sesuatu untuk melindungi dan menampung. Saya
minta kepada Tuhan agar dianugerahi ilmu untuk menemani rakyat, agar
berada dalam keseimbangan hubungan, meracik skala prioritas dan
tata-etika untuk disepakati, dengan menomersatukan keutuhan kemanusiaan
dan kebangsaan. Saya ditarik untuk menemani mereka mencari solusi-solusi
dalam rembug pengetahuan atau diskusi ilmu dan kasih sayang, minimal 5
jam, bahkan sering berlangsung hingga dihentikan oleh Subuh.
Akan tetapi saya dan kami semua diam-diam ditikam dari belakang.
Kami dimunafiki: bilangnya satu dalam perbedaan, tapi diam-diam di
belakang punggung menciptakan pecahan-pecahan, menanam perilaku yang
menimbulkan amarah, kebencian, permusuhan dan dendam. Saya mengajak kaum
Muslimin untuk “la ikroha fiddin” dan memahami metoda-metoda tasammuh
atau toleransi, untuk secara rasional menata keIndonesiaan. Tetapi
diam-diam Kaum Muslimin digerogoti dari belakang: pergerakan-pergerakan
sangat taktis dan strategis dari upaya-upaya deIslamisasi penduduk
kampung-kampung, deIslamisasi Kraton, hingga deIslamisasi Pemerintahan
Nasional, dengan plan dan timeline yang seksama, sangat kentara, bahkan terang-terangan dengan arogansi dan keculasan.
Bahkan Kaum Muslimin dicuci otaknya secara nasional untuk
mempercayai bahwa demokrasi tetap gagal selama pemimpin nasionalnya
berasal dari mayoritas. Demokrasi tercapai sempurna kalau pucuk
pimpinannya adalah tokoh minoritas. Kalau mayoritas berkuasa itu artinya
diktator mayoritas dan intoleransi. Kalau minoritas berkuasa itu
maknanya demokrasi dan keadilan. Kalau orang Islam dibunuh, itu
perjuangan melawan radikalisme dan fasisme. Kehancuran Islam adalah
tegaknya keadilan dunia dan berkibarnya demokrasi. Penguasaan atas Kaum
Muslimin dilakukan atas dasar subyektivitisme Ras dan Agama para
pelakunya, kalau Kaum Muslimin menolaknya dituduh rasis dan pelaku SARA.
Ummat Islam dipaksa untuk menerima kehendak kekuasaan, dan kalau
menolak mereka disebut memaksakan kehendak. Ummat Islam diinjak, kalau
bereaksi dituduh tidak toleran, anarkis dan radikal.
Sebenarnya selama puluhan tahun terakhir, proses pengikisan hak
milik, penjebolan kedaulatan dan penguasaan harta benda Ibu Pertiwi,
juga pencurangan cara berpikir tentang mayoritas-minoritas seperti itu
sudah berlangsung. Tetapi kemudian, sukar saya elakkan pandangan, bahwa
melalui rekayasa penyelenggaraan kepengurusan yang baru atas institusi
Negara, dengan tiga tajaman di ujung Trisula politiknya, serta
pendayagunaan seluruh perangkat lembaga pengelolaan itu, termasuk
kerjasama proaktif dengan media-media informasi tertentu, pun jangan
lupa sebagian tokoh dan institusi atau organisasi Islam tertentu yang
dipekerjakan: hal itu dipacu maksimal dan total. Sampai Tanah Air Ibu
Pertiwi Indonesia bukan lagi milik pribumi asli Indonesia. Dari kursi
nomer satu di puncak kuasa hingga sejengkal tanah di pelosok desa, akan
berangsur-angsur menjadi bukan lagi milik rakyat Indonesia.
Logika normalnya, siapa menolak kenyataan itu, akan hanya tersisa
tempat untuk menjadi gelandangan di kampung sendiri. Dan kalau
memberontak, akan dibunuh dengan berbagai jenis dan kadar pembunuhan.
Kalau pemberontakannya sangat merepotkan, maka harus dimusnahkan. Rakyat
Indonesia dikelabuhi secara intelektual, dininabobo secara mental,
ditipudaya secara politik dan hukum, ditelikung secara ideologi,
dikanak-kanakkan melalui tayangan-tayangan, disesatkan pengetahuannya,
dikebiri keksatriaannya, serta ditidak-seimbangkan cara pandang
kehidupannya.
Para ilmuwan, aktivis atau para tradisionalis penghitung sejarah dipersilahkan menjelaskan bebendu
sejarah yang sedang deras dilangsungkan itu melalui tema Perang Asia
Pasifik, Perang Asimetris, Ku Bilai Khan seri-II, Manifestasi Dajjal
yang “mensorgakan neraka dan menerakakan sorga”, kulit dan mata Ya’juj Ma’juj, “wong jowo gari separo cino londo gari sakjodho”,
tafsir baru 500 tahun Sabdopalon Noyogenggong, atau apapun. Yang pasti
rakyat asli Nusantara Indonesia sedang dikurung oleh perampokan dan
penjajahan besar-besaran, di mana mereka belum 10% menyadarinya.
Kalau para pejuang kebenaran 411 tidak memperoleh goal yang dimaksudkannya pada ‘pertempuran awal’, tidak boleh kaget dan malah perlu introspeksi total. Misalnya, karena medan perang dan sasaran tembaknya dipersempit menjadi hanya Al-Maidah 51, yang di dalam ketersediaan pasal pidana tidak sukar untuk di-syubhat-kan. Tidak ada tonjokan tentang kasus-kasus korupsi, reklamasi, atau penyiapan Jakarta untuk pilot project disain penjajahan nasional. Lebih 90% kejahatan manusia tidak selalu bisa dijangkau oleh hukum: ketidak-berbudayaan dalam memimpin, ‘hawa’ negatif eksistensinya, kejinya ucapan, brutalnya tindakan, aura dan nuansa kebenciannya kepada Islam, dst.
Kalau para pejuang kebenaran 411 tidak memperoleh goal yang dimaksudkannya pada ‘pertempuran awal’, tidak boleh kaget dan malah perlu introspeksi total. Misalnya, karena medan perang dan sasaran tembaknya dipersempit menjadi hanya Al-Maidah 51, yang di dalam ketersediaan pasal pidana tidak sukar untuk di-syubhat-kan. Tidak ada tonjokan tentang kasus-kasus korupsi, reklamasi, atau penyiapan Jakarta untuk pilot project disain penjajahan nasional. Lebih 90% kejahatan manusia tidak selalu bisa dijangkau oleh hukum: ketidak-berbudayaan dalam memimpin, ‘hawa’ negatif eksistensinya, kejinya ucapan, brutalnya tindakan, aura dan nuansa kebenciannya kepada Islam, dst.
Pejuang 411 terfokus pada setitik hilir dan belum menemukan
determinasi terhadap hulunya yang dahsyat. Juga para pejuang 411 tidak
tepat untuk meneruskan himbauan atau desakan kepada para pelaku sistem
kekuasaan, institusi, pejabat Pemerintahan atau atasan-atasan, agar
turut menembak sasaran yang mereka tembak. Sebab harus berjaga-jaga
siapa tahu mereka semua adalah bagian dari suatu formasi kekuatan yang
justru bertugas menjaga jangan sampai sasaran itu kena tembak.
Ummat Islam perlu melakukan ke dalam dirinya sendiri (Islam dan Kaum Muslimin) muhasabah
komprehensif. Kaum Muslimin tidak bisa menunda waktu lagi untuk lebih
mengislamkan dirinya, sebab itulah modal paling kuat untuk
mempertahankan Indonesia. Kaum Muslimin di setiap titik harus
menyelenggarakan tahqiqi keIslaman sampai ke anak-anak dan cucu-cucu mereka. Menyusun tradisi budaya kependidikan Ta’limul Islam, Tafhimul Islam, Ta’riful Islam, Tarbiyatul Islam hingga tertradisikan Ta`dibul Islam.
Setiap lingkaran Muslimin memastikan perkumpulan yang berlatih bersama
untuk tidak ditimpa kemalasan berpikir, berpuasa dari egosentrisme
kelompok, melawan tradisi amarah, atau memasrahkan persoalan-persoalan
kepada para pemimpin, padahal pada saat yang sama sesungguhnya mereka
tidak benar-benar percaya kepada pemimpin.
Ummat Islam tidak perlu melemahkan dirinya terus menerus dengan khilafiyah dan ikhtilafiyah, apalagi dengan tema-tema furuíyah. Aliran-aliran (produk tafsir) keIslaman tidak bisa mengelak lagi untuk mulai duduk bersama, ber-majlis-fatwa bersama, memandu ummat mereka berhimpun dan bersatu di dalam kebijakan sejarah “wa amruhum syuro bainahum”.
Mengkonsisteni keseimbangan berpikir, keadilan sikap, cerdas kapan
hitam-putih kapan warna-warni, serta memastikan bahwa Ummat Islam tidak
dipersatukan oleh kebencian bersama kepada pihak yang memusuhi mereka.
Melainkan berukhuwah sejati karena iman kepada Allah, cinta
kepada Kanjeng Nabi dan penjunjungan kepada AlQur`an yang Allah
Sendiripun maha bekerja untuk menjaganya.
Termasuk tidak membiarkan kebiasaan mudah kagum, gampang
terhanyut, mentakhayulkan idola, Satrio Piningit, Ratu Adil, atau bahkan
Imam Mahdi, tanpa mengelaborasinya dengan akal sehat dan rahasia
firman. Syukur akhirnya Allah menghidayahi Ummat Islam untuk memiliki
keridlaan sebagai “ummatan wahidah”, ummat yang satu dan selalu
menyatu. Dengan kepemimpinan yang juga satu, yang Allah sendiri Maha
Pengangkat dan Pelantiknya. Mohon mafhum ini bukan gagasan tentang
Imamah.
Salah satu modal Kaum Muslimin adalah mereka yang memusuhinya
beranggapan dan meyakini, bahwa berdasarkan teori peperangan: Kaum
Muslimin Indonesia kalah hampir di semua segi. Modalnya,
pengorganisasiannya, kohesi keummatannya, mesiunya, penguasaan medan dan
cuacanya, soliditas pasukan-pasukannya yang jahr maupun yang sirr. Mereka juga menyangka bahwa hizbullah 4 Nov adalah gambaran maksimal kekuatan Kaum Muslimin.
Ada sejumlah dimensi, kekuatan, aura, energi, probabilitas “min haitsu la yahtasib”, immanensi “inna nahnu nazzalnadzdzikro wa inna lahu lahafidhun”, rahasia “wamakaru wamakarallah wallahu khoirul makirin”
dst dst yang semua penguasa di dunia sejak zaman Nabi Nuh hingga
Abrahah serta para adikuasa abad-abad mutakhir, tidak pernah serius
memperhitungkannya. Apalagi untuk konteks Nusantara Penggalan Sorga
dengan sejarah tanah liat dan Tapel, dengan Iblis Smarabhumi dan Izroil,
yang dianggap klenik dan khoyal, sehingga akan membuat mereka salah sangka di ujung penjajahannya atas tanah berkah ini. Fa’álul-lima Yurid, Allah Maha Bekerja mewujudkan kehendakNya.
Saya sendiri, bersama saudara-saudara yang bersama saya, hanyalah
manusia, sehingga lemah dan tak berdaya. Yang Maha Kuat dan Maha
Berdaya adalah Allah swt. Dan dengan segala ketidakberdayaan itu saya
sudah berkali-kali membisikkan ke telinga para syuraqoh penindas manusia dan penganiaya nilai-nilai hakiki Tuhan yang hari-hari ini sedang berbuat adigang-adigung-adiguna di Tanah Air Indonesia: “Tolong dipikir ulang, agar tidak menyesal kemudian”.
Ke mana-manapun berpuluh tahun saya menghimpun para pecinta Allah, berupaya menambah jumlah hamba-hamba agar dicintai Allah, “mengelola arus positif dan negatif menjadi cahaya”.
Saya sedih oleh permusuhan, selalu menikmati persaudaraan dengan semua
makhluk Tuhan, dan saya tidak bahagia harus bersiap untuk kemungkinan
lainnya.
Yogyakarta 8 November 2016.
Yogyakarta 8 November 2016.
0 komentar