YOGYA TIDAK DISKRIMINATIF
Kamis, November 24, 2016
Ketika ada yang menuduh Yogyakarta telah berlaku diskriminatif hanya karena alasan aseng tidak boleh memiliki properti di sana, entah mengapa rasa heran muncul. Mengapa juga mereka tak menaruh hormat atas keputusan itu? Atau paling tidak menganggapnya sebagai “kearifan lokal” jika memang benar konsep ini ada. Sependek pengetahuan saya, Yogyakarta tidak diskriminatif. Kota Gudeg itu bertindak demikian pasti memiliki alasan. Secara pribadi saya tidak tahu alasannya. Tetapi Yogyakarta memang memiliki sejumlah pengalaman traumatik dengan non-pribumi.
Dulu orang-orang China diberi kesempatan hidup berdampingan dalam damai dan harmoni di Yogyakarta. Untuk memimpin etnis itu, diangkatlah seorang diantaranya menjadi Kapitan Cina yaitu sosok bernama Tan Jing Sing. Sebagai bangsa non-pribumi mereka memiliki kesempatan yang sama dengan pribumi. Hidup dan menghidupi dirinya dari potensi air, udara dan tanah kerajaan.
Namun, tatkala Inggris di bawah Rafffles menyerang Yogyakarta, pada 19-20 Juni 1812, kebaikan yang selama ini diberikan Yogyakarta itu seolah sirna tak berbalas. Untuk mendukung serangan kekuatan gabungan Inggris, tentara Sepoy dan pengkhianat bangsa lainnya, Kapitan Tan Jing Sing memimpin komunitasnya dengan menyediakan tangga-tangga bambu agar tembok Yogyakarta bisa dengan mudah ditaklukkan oleh lawannya. Meriam sepanjang malam menyalak dan meleburkan tembok kota raja. Kaum China bersuka ria atas jatuhnya Yogyakarta. Tak heran, sentimen anti China menguat setelahnya.
Entah berapa korban dari pihak prajurit dan rakyat kecil, Sultan sendiri kehilangan Sumodiningrat, tiga menantunya tewas, ratu Kedaton terbunuh, dan semuanya berlumuran darah. Bukan hanya harta milik jelata, tak ayal Kekayaan negara dirampas semena-mena. Keris bertahtakan berlian dan bahkan kancing baju sang Sultan pun direnggut dengan kasar oleh tentara Sepoy. Berset-set wayang kulit dan gamelan serta arsip-arsip turut diangkut. Penjarah berpesta pora. Dalam hitungan singkat Yogyakarta kehilangan kekayaan negara sebesar 800.000 dolar spanyol atau sekitar 50 juta dollar Amerika untuk ukuran hari ini. Entah berapa trilyun nilai itu jika dirupiahkan. Atau jika dibelikan krupuk, entah berapa lapangan yang akan diperoleh. Peristiwa semacam ini tentu akan mengingatkan kembali akan runtuhnya ibu kota Kerajaan Mataram Kartasura akibat keganasan orang-orang China dalam peristiwa Geger Pacinan sekitar beberapa dasa warsa sebelumnya (9–22 Oktober 1740).
Tak hanya berupa harta-benda, warisan ‘inteletual’ pun direnggut paksa. Trenyuh, ketika naskah-naskah manuskrip karya pujangga dan bijak bestari tak luput pula dari penjarahan masa. Tentara Inggris merampok naskah dari istana yang banyaknya 5 gerobak setiap hari. Pengangkutan naskah ini dilakukan selama satu minggu. Ribuan naskah itu paling banyak disimpan di British Council dan Raffles Foundation yang berada di London. Sampai hari ini pihak istana Yogyakarta baru menerima 21 buah microfilm dari naskah kuno tersebut. Sedangkan naskah kuno yang ada di Yogyakarta hanya sekitar 363 dan menjadi koleksi Museum Sono Budoyo. (Kompas.com, 15 Mei 2012).
Tan Jing Sing memang telah mendapat petaka atas tindakannya. Memaafkan itu mudah, tetapi belajar dari sejarah agar tidak terperosok ke lubang yang sama itu perlu terus dilakukan. Ditinggal mantan saja katanya galau setengah mati, entah bagaimana lagi rasa sakit hati akibat dikhianati oleh mereka yang tak tahu budi. Sudahlah, jika Yogyakarta tak ingin berbagai kepemilikan properti maka hormati saja. Jangan lagi menyakiti rakyat Yogyakarta dengan mengangkatnya sebagai persoalan SARA, apalagi menuduhnya diskriminatif. Lebih-lebih mendudukkan Yogyakarta terlibat separatisme. Jadi, biarkan Yogya apa adanya, sebagai kota yang diharapkan ke depan tetap bisa ramah terhadap pribumi. Termasuk bagi saya yang bukan kawula Sampeyan Dalem Sri Sultan.
Kendalisada, 4 Oktober 2016
sumber: fb susiyanto
0 komentar