SELAMA bertahun-tahun, banyak di antara kita beranggapan bahwa Jakarta adalah kota yang panas, sibuk, macet, kurang ramah, polutif, dan tidak nyaman untuk ditinggali. Sebaliknya, Yogyakarta merupakan tempat tinggal dan berlibur yang menyenangkan. Yogyakarta dipersepsikan sebagai kota tempat beristirahat setelah pensiun, kota pelajar, suasana yang santai, dan berbagai kondisi menyenangkan lainnya, termasuk tidak macet. Namun, beberapa tahun belakangan ini, kita mulai merasakan dan mendengar keluhan-keluhan tentang Yogyakarta. Biaya kuliah yang tinggi, mall yang menjamur, hotel yang bermunculan, yang menimbulkan implikasi bagi seluruh ekosistem kehidupan di Yogyakarta. Salah satu hal yang paling sering dikeluhkan adalah kemacetan yang mulai sering terjadi, meskipun rasa macet di Yogyakarta terasa biasa saja karena terjadi sedikit demi sedikit dan orang di Yogyakarta terbiasa santai sehingga tidak terlalu muncul ke permukaan. Tiba-tiba muncul lah berita yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan bagi rakyat Indonesia, sebuah hasil riset dari INRIX tentang negara-negara termacet di dunia, di mana Indonesia ‘sukses’ menjadi peringkat kedua dengan rata-rata waktu terjebak macet per hari per orang adalah 13 menit. Kejutan sesungguhnya terletak pada penjelasan lebih detailnya. Untuk Indonesia mereka meneliti beberapa kota besar, dan ternyata Yogyakarta masuk sebagai peringkat lima besar kota termacet di Indonesia. Bahkan sebenarnya bisa juga disebut kota ketiga karena peringkat 3-5 memiliki nilai index kemacetan yang sama.
Inilah kejutan besarnya. Tempat yang selama ini kita anggap nyaman, santai, menyenangkan, dan sebutan menarik lainnya, ternyata telah berubah menjadi kota termacet kelima di Indonesia, sebuah negara yang merupakan negara termacet kedua di dunia. Artinya Yogyakarta menjadi penyumbang index kemacetan yang cukup signifikan. Data riset itu juga menunjukkan bahwa Yogyakarta bahkan lebih macet dibandingkan Semarang, Medan, dan Surabaya, kota-kota yang selama ini dipersepsikan sebagai kota-kota yang sibuk dan macet. Kita bisa berapologi dengan mengatakan, bahwa kemacetan itu timbul sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan banyak orang yang mampu membeli mobil. Namun, kita harus memahami bahwa semua apologi itu akan berubah menjadi kekhawatiran, manakala kita menelaah lebih lanjut data dari INRIX yang memperlihatkan bahwa Yogyakarta pada tahun 2016 berada pada peringkat 86, dan setahun kemudian pada 2017 naik menjadi peringkat 60, sebuah pertumbuhan kemacetan yang luar biasa cepat. Jika kondisi ini kita tanggapi sambil lalu saja, maka bisa jadi peringkat kemacetan Yogyakarta akan semakin meningkat dalam beberapa tahun ke depan, bahkan jika memakai asumsi kecepatan pertumbuhan kemacetan dari tahun 2016 ke 2017 maka dalam 4-5 tahun ke depan bisa jadi Yogyakarta masuk dalam jajaran lima besar kota termacet di dunia. Lalu apa masalahnya jika kemacetan semakin parah terjadi di Yogyakarta, toh kita merasa nyaman-nyaman saja.
Kerugian Akibat Kemacetan
Salah satu kerugian akibat kemacetan yang paling sering dijadikan alat untuk menggambarkan buruknya kemacetan adalah kuantifikasi kerugian ekonomi. Pada bulan Oktober 2016, Ketua DPD PDI-P Daerah Istimewa Yogyakarta, Bambang Praswanto, menyatakan pada kantor berita Antara bahwa potensi kerugian akibat kemacetan di Kota Yogyakarta Rp 50 juta per hari, atau setara dengan 1,5 miliar rupiah per bulan, atau setara dengan 18 miliar rupiah per tahun. Penulis belum mendapatkan sumber yang memperlihatkan basis atau metode penghitungan kerugian di atas, akan tetapi paling tidak pernyataan itu bisa menjadi gambaran, bahwa kerugian ekonomi akibat kemacetan sebenarnya bisa kita hitung, dan bisa jadi nilai kerugiannya jauh lebih besar dari angka yang dinyatakan oleh Bambang Prastowo. Nilai ini akan menjadi lebih besar lagi, jika kita ikut memasukkan efek tidak langsung dalam hitungan tersebut. Misalnya kita masukkan pemborosan bahan bakar yang terjadi akibat perjalanan yang lebih lama, atau biaya penanganan polusi asap, atau adanya kemungkinan wisatawan menjadi enggan untuk datang ke Kota Yogyakarta dikarenakan mereka malas berhadapan dengan kemacetan. Sebagai pembanding, pada bulan Oktober 2017, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, menyatakan bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh kemacetan di Jakarta adalah sekitar Rp 670 triliun.
Data Yogyakarta
Salah satu apologi yang diajukan ketika kemacetan terjadi, adalah pertumbuhan ekonomi yang membuat semakin banyak orang mampu membeli kendaraan, termasuk mobil, sehingga wajar kemacetan terjadi. Namun, jika kita merujuk pada nilai UMK Kota Yogyakarta maka asumsi pertumbuhan ekonomi ini menjadi tidak bisa diterima. Pada tahun 2015 UMK Kota Yogyakarta sebesar Rp 1.302.500,00 dan hanya naik sedikit pada tahun 2016 yaitu menjadi sebesar Rp 1.452.400,00. Pertambahan UMK Kota Yogyakarta yang hanya Rp 149.900,00 tidak bisa dikategorikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terlebih jika dilihat nilai UMK itu sendiri yang tergolong sangat rendah. Artinya, kita tidak bisa berapologi bahwa kemacetan terjadi karena pertumbuhan ekonomi, dan juga sebaliknya kita tidak bisa mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan bertambah cepat karena Kota Yogyakarta memiliki mobilitas tinggi yang dibuktikan dengan pertumbuhan index kemacetan. Sebaliknya, yang mungkin terjadi adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi dikarenakan mobilitas perdagangan yang terhambat kemacetan, bertambahnya biaya produksi karena penambahan lama perjalanan dan bahan bakar, biaya kesehatan yang meningkat akibat polusi asap yang meningkat, dan lain sebagainya.
Terus Bagaimana?
Masalah kemacetan ini menurut penulis harus diatasi dari dua sisi secara simultan. Pertama dari sisi pemerintah dengan kebijakan penanganan kemacetan yang tentu saja harus melalui kajian-kajian mendalam. Kedua dari sisi masyarakat sendiri dengan menumbuhkan berbagai gerakan atau aktivitas yang bertujuan untuk mengatasi kemacetan dengan semangat memperbaiki keadaan bersama-sama.
Beberapa aturan sudah dibuat dan diterapkan pemerintah Kota Yogyakarta untuk mengatasi kemacetan, di antaranya penerapan kantong parkir di Malioboro. Namun, melihat pertumbuhan kemacetan yang ada, maka pemerintah Kota Yogyakarta perlu segera membuat kajian dan sekaligus kebijakan tambahan untuk menyelesaikan masalah kemacetan tersebut. Berbagai pendapat ahli tentu bisa diujicobakan agar ditemukan solusi terbaik. Beberapa kebijakan negara lain juga bisa dijadikan contoh untuk dikaji secara mendalam, agar ditemukan yang cocok untuk kondisi Kota Yogyakarta. Penulis hanya akan menampilkan beberapa contoh kebijakan yang menurut penulis mungkin bisa diadopsi oleh pemerintah Kota Yogyakarta, meskipun sekali lagi tentu diperlukan kajian lebih lanjut dan lebih dalam lagi.
Jika kita perhatikan lebih mendalam, sebenarnya salah satu inti permasalahan kemacetan Kota Yogyakarta adalah ruas jalan yang sempit, sementara jumlah kendaraan terus meningkat. Di sisi lain pelebaran jalan cukup sulit dilakukan karena memang kondisi lahan Kota Yogyakarta secara umum memang sangat sempit, sehingga jika akan melakukan pelebaran jalan maka banyak rumah atau toko yang tidak bisa digunakan lagi. Jika pun pemiliknya mau, hampir bisa dipastikan biayanya sangat tinggi. Mengingat peningkatan harga tanah/properti di Provinsi DIY secara umum dan Kota Yogyakarta secara khusus sangat tinggi, maka umumnya masyarakat akan sangat keberatan jika mereka harus digusur, dan ini merupakan tindakan yang sangat tidak populer. Ketika pelebaran jalan menjadi opsi yang sangat sulit dilakukan maka pembatasan-pembatasan berkendaraan menjadi opsi yang lebih memungkinkan.
Kebijakan HOV (High Occupancy Vehicle) seperti three in one yang pernah diterapkan di beberapa ruas jalan di Jakarta, pada Maret 2016 ditangguhkan tanpa batas waktu. Beberapa pihak beranggapan bahwa kebijakan tersebut tidak memberi dampak pengurangan kemacetan yang signifikan, bahkan menimbulkan masalah baru dengan munculnya tenaga “joki” atau penumpang “profesional”, sehingga menjadi tambahan beban bagi pengendara mobil. Namun, munculnya beban tersebut justru merupakan hal yang memang diharapkan, karena dengan adanya beban tambahan (selain ancaman sanksi/denda) akan membuat orang berfikir dua kali sebelum membawa mobil. Selain itu, beberapa orang peneliti (Benjamin Olken dan Kreindler dari MIT, dan Rema Hanna dari Harvard University) melakukan penelitian yang menunjukkan, bahwa setelah kebijakan tersebut ditangguhkan rata-rata kecepatan di jalanan Jakarta yang sebelumnya menjalankan aturan three in one mengalami penurunan dari 28 kilometer per jam menjadi 19 kilometer per jam pada jam sibuk di pagi hari, dan pada jam sibuk sore hari menurun dari 21 kilometer per jam menjadi 11 kilometer per jam. Beberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta yang mengalami kemacetan parah sepertinya bisa diterapkan aturan ini.
Pilihan kebijakan lain yang juga sepertinya cocok untuk wilayah Kota Yogyakarta adalah pemanfaatan IT sebagai panduan berkendaraan, hal ini pas dengan upaya pemerintah yang ingin menjadikan Kota Yogyakarta sebagai smart city. Ada beberapa model pemanfaatan IT sebagai upaya mengatasi kemacetan. London menerapkan Electronic Journey Planner yang memandu orang untuk bepergian di sana secara terintegrasi. Orang akan dipandu melalui aplikasi smartphone dengan berbagai pilihan kendaraan umum untuk mencapai sebuah lokasi, baik itu naik bis lalu dilanjut dengan sepeda atau berjalan kaki, atau kemudian ditambah dengan naik kereta api, dan kendaraan lainnya, sehingga orang akan dapat dengan relatif mudah menghindari kemacetan dan dapat mencapai lokasi yang dituju dengan benar serta akurat. Tentu ada prasyarat agar ini bisa terjadi, yaitu infrastruktur IT yang sudah siap mendukung kecepatan penggunaan, operator yang selalu meng-updatedata, serta transportasi umum yang cukup dan nyaman.
Gerakan Masyarakat
Sejalan dengan contoh yang penulis ajukan pada pemerintah, penulis juga menyampaikan ide gerakan masyarakat yang bisa bersinergi dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Gerakan ini diperlukan karena pada akhirnya kebijakan yang dibuat pemerintah akan sangat sulit membuahkan hasil jika pada dasarnya tidak ada kesadaran masyarakat secara umum untuk mensukseskannya. Tanpa kesadaran dari masyarakat, maka yang muncul adalah rasa tidak nyaman, dan upaya-upaya melawan aturan-aturan yang sudah ditetapkan, meskipun terutama pada saat pengawasan pemerintah sedang tidak ada. Tanpa budaya menaati traffic light maka akan banyak pelanggaran terhadap lampu yang ada pada setiap kesempatan. Padahal seringkali kecelakaan terjadi saat pelanggaran itu dilakukan, atau kemacetan menjadi semakin parah, ketika sedang tidak ada polisi bertugas, lalu beberapa kendaraan menerobos lampu merah sehingga semua kendaraan tidak bisa bergerak.
Usulan gerakan pertama adalah stop naik mobil sendirian. Seringkali kita menemukan orang-orang naik mobil sendirian, padahal setiap kali naik mobil sendirian, maka dia memakan tempat yang cukup besar di jalanan, membuang bahan bakar lebih banyak, dan jelas menambah kemacetan. Jadi, jika kita ingin pergi sendirian saja, maka biasakan naik motor atau naik kendaraan umum. Tentu ada kondisi-kondisi yang menjadi pengecualian, misalnya sebenarnya mobil berisi empat orang tetapi tiga orang lainnya sudah sampai ditujuan sehingga tinggal orang keempat yang ada di mobil. Ada beberapa opsi yang mungkin diambil dalam melakukan gerakan ini. Beberapa orang melakukan carpooling yaitu memberi tumpangan/menumpang dengan teman atau kenalan yang satu arah. Di beberapa tempat di Jakarta gerakan ini sudah cukup banyak dilakukan. Carpooling merupakan bentuk dukungan nyata terhadap aturan HOV. Ada pula yang menggalakkan gerakan Gowes yang sempat ramai di Yogyakarta. Gerakan ini perlu disemarakkan kembali, terlebih sebenarnya dukungan pemerintah untuk gerakan ini sudah diperlihatkan, seperti kita lihat tempat berhenti khusus sepeda di lampu merah, atau tempat parkir khusus sepeda di halte trans jogja. Tentu saja ada opsi untuk naik transportasi umum yang sudah tersedia.
Usulan gerakan kedua adalah pembiasaan untuk jalan kaki, naik sepeda, atau maksimal sepeda motor. Sepeda motor penulis masukkan, mengingat bagi sebagian kalangan yang sudah terbiasa naik mobil pribadi, hal ini berat untuk dilakukan, dengan beragam alasan yang dimunculkan tiap-tiap orang. Jika kita berdiskusi dengan rekan-rekan kita yang pernah tinggal di luar negeri (terutama negara maju), kita akan mendapatkan sebuah data yang serupa bahwa orang-orang di sana terbiasa berjalan kaki untuk jarak yang cukup jauh. Hal ini juga terlihat pada beberapa orang asing yang tinggal di Indonesia, mereka terlihat terbiasa untuk berjalan kaki menuju berbagai titik tujuan. Bagi mereka berjalan kaki merupakan hal yang baik, menyehatkan, sementara bagi sebagian masyarakat Indonesia berjalan kaki itu tidak menyenangkan karena letih dan tidak cukup bergengsi. Beberapa kali kita akan melihat orang yang akan pergi berbelanja di sebuah warung yang jaraknya tidak sampai satu kilometer saja dia akan menggunakan mobilnya. Rasa gengsi dan malas ini harus kita lawan agar budaya jalan kaki, naik sepeda, atau maksimal sepeda motor, dapat membudaya di tengah masyarakat Yogyakarta, karena toh akhirnya jika kemacetan itu berkurang, masyarakat Kota Yogyakarta juga yang akan menikmati hasilnya. ***
Penulis
Muhammad Aga Sekamdo Mahasiswa S3 Studi Kebijakan UGM dan Dosen STIA MADANI
Sumber: https://arsip.koranbernas.id/yogyakarta-dan-kemacetan-parah/ 20 Mei 2018