Dalam satu dekade terakhir, kelompok nasyid tumbuh subur di Yogyakarta. Tak hanya bertambah secara kuantitas, keberadaan mereka juga semakin mendapatkan tempat di masyarakat. Kemampuan adaptasi mereka mulai dari lirik, penampilan, dan kreativitas memainkan alat musik menjadi pemicu.
Berdasarkan data Asosiasi Nasyid Nusantara Cabang Yogyakarta, jumlah kelompok nasyid yang resmi bergabung tercatat 47 kelompok. Di luar asosiasi masih ada ratusan kelompok mulai dari komunitas anak- anak SMA, kuliah, dan komunitas masjid.
Ahmad Faishal, manajer sekaligus vokalis Suara Syuhada, Jumat (13/8), mengatakan, nasyid sekarang lebih dinamis dan tidak kaku seperti pada awal kemunculannya. "Dari sisi penampilan, misalnya, dulu kami masih menggunakan baju agamis atau jubah panjang. Sekarang, kami mulai ganti dengan baju-baju yang lebih trendi," katanya.
Dari sisi lirik, nasyid lama hanya berisikan tema-tema soal kecintaan kepada Allah dan RasulNya. Sekarang liriknya lebih banyak bercerita soal ajakan-ajakan kebaikan secara umum. Misalnya saja, ajakan untuk senyum, puasa, shalat, atau menjalin silaturahmi antarsesama.
Perubahan nasyid juga terlihat dari arena atau lokasi untuk memainkannya. Dulu nasyid hanya dikumandangkan di masjid-masjid khususnya saat acara pengajian. Kini, nasyid lebih terbuka dengan masuk ke kafe-kafe.
"Biasanya saat Ramadhan seperti sekarang, kami tampil di sejumlah kafe seperti Java Cafe dan Liquid. Masuknya kami ke dunia kafe harus dilihat dari spiritnya, yakni ingin berdakwah menyuarakan pesan-pesan kebaikan," katanya. Muhammad Aga, Manajer Justice Voice, mengatakan, adaptasi nasyid juga terlihat dari munculnya sejumlah kelompok nasyid perempuan. Pada masa awal, perempuan tidak diperbolehkan mendirikan kelompok nasyid karena pemahaman suara perempuan sebagai aurat. Namun, dalam perkembangannya, pemahaman tersebut semakin terkikis karena tidak semua suara perempuan masuk kategori aurat. "Yang masuk aurat misalnya jeritan atau desahan yang bisa menimbulkan syahwat," katanya.
Meskipun suara perempuan diperbolehkan, sebagian besar kelompok nasyid belum menggabungkannya dengan suara laki-laki. Jadi masih jarang nasyid kombinasi antara suara perempuan dan laki-laki. Aga menambahkan, nasyid sekarang tampil lebih dinamis karena mulai diiringi banyak alat musik. Alat musik yang dulunya diharamkan kini diterima sebagai bentuk hiburan. Yang terpenting adalah isi lagunya. Genre musik juga tidak lagi dipersoalkan; mau pop, keroncong, ataupun dangdut, yang penting pesan moralnya.
Berbagai adaptasi yang dilakukan nasyid dalam menangkap dinamika zaman membuatnya terus bertahan, bahkan tumbuh subur saat ini. Setiap tahun selalu digelar festival nasyid untuk mencari bibit unggul. Di kancah nasyid nasional, Yogyakarta menjadi salah satu barometernya selain Jakarta dan Bandung. (ENY)
sumber: Kompas 14/08/2010