Menuju Reformasi Sistem Pemasyarakatan: Menimbang Usulan Amnesti bagi Narapidana

Kamis, Januari 02, 2025



Kabar Baru, Opini – Di tengah sorotan terhadap reformasi sistem pemasyarakatan di Indonesia, muncul usulan pemerintah yang menarik perhatian dari banyak kalangan, mulai dari Anggota DPR RI hingga masyarakat biasa. Usulan amnesti bagi sekitar 44.000 narapidana, termasuk di dalamnya 18 terpidana yang dihukum berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), menjadi salah satu topik hangat dalam perbincangan publik. Menurut penjelasan pemerintah, sebagian besar dari mereka yang akan mendapatkan amnesti ini merupakan individu dengan kondisi kesehatan yang memprihatinkan, baik fisik maupun mental. Penjelasan ini bagi sebagian kalangan, menjadikan usulan ini dianggap sebagai langkah positif menuju sistem peradilan yang lebih humanis dan reformis. Namun, di sisi lain, ada pula yang meragukan efektivitas serta keadilan dari kebijakan tersebut, termasuk kemungkinan pelanggaran yang dibuat oknum-oknum yang menjadikan kebijakan ini sebagai cara baru memperkaya diri mereka.

Tantangan Sistem Pemasyarakatan

Sebagai seseorang yang selama ini sedikit banyak mempelajari dan mengamati perkembangan sistem peradilan dan pemasyarakatan di Indonesia, saya melihat bahwa sistem pemasyarakatan Indonesia menghadapi beberapa tantangan serius. Overkapasitas penjara, kurangnya rehabilitasi yang efektif, serta kondisi narapidana yang tidak terpenuhi hak asasinya, hingga pemerasan yang dilakukan oknum aparat menjadi isu-isu yang mendesak untuk segera diatasi. Amnesti, dalam konteks ini, bukan sekadar pembebasan bagi mereka yang terlibat dalam kasus-kasus tertentu, tetapi lebih sebagai upaya untuk memperbaiki sistem yang telah lama penuh masalah dan berpotensi merugikan banyak pihak. Data dari Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 270.000 narapidana dengan kapasitas penjara yang hanya mampu menampung sekitar 130.000 orang, menghasilkan overkapasitas hingga 2-3 kali lipat. Beberapa penjara besar, seperti Lapas Cipinang dan Lapas Salemba, mengalami overkapasitas hingga 200%. Hal ini tentu saja mempengaruhi kualitas rehabilitasi dan menyebabkan penurunan kondisi fisik dan mental narapidana

Di tingkat global, masalah overkapasitas penjara telah menjadi isu dihampir seluruh belahan dunia. Berdasarkan data dari World Prison Brief (WPB), Amerika Serikat memiliki angka narapidana per 100.000 penduduk (Incarceration Rates) yang mencapai 541 orang, tergolong sangat tinggi dibandingkan negara lain, dengan tingkat overkapasitas 166,2%​. Rwanda dan Turkmenistan juga memiliki angka Incarceration Rates yang sangat tinggi, yakni 620 dan 576 narapidana per 100.000 penduduk, dengan  tingkat overkapasitas 141,6% dan 85%. Indonesia sendiri, memiliki angka Incarceration Rates yang tidak terlalu tinggi, yaitu 96 tetapi dengan tingkat overkapasitas yang mencapai 188,3%. Dari data WPB di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa untuk menyelesaikan masalah overkapasitas penjara di Indonesia selain pemberian amnesti juga diperlukan penambahan jumlah penjara dan atau perluasan penjara yang sudah ada, karena sesungguhnya persentase orang yang dipenjara di Indonesia tidaklah tinggi (Incarceration Rates sedang menuju rendah) tetapi kapasitas penjara yang tersedia memang masih terlalu rendah sehingga tidak dapat menampung jumlah tersebut. Kebijakan yang lebih ekstrim bisa dibuat untuk  mengurangi lagi Incarceration Rates melalui beberapa cara, seperti rehabilitasi untuk pemakai narkoba dan miras, hukuman kerja sosial untuk kejahatan ringan, dan hukuman alternatif lainnya, dengan demikian makin sedikit jumlah orang yang dipenjarakan sehingga overkapasitas bisa diatasi. Untuk kebijakan penurunan incarceration rate ini kita bisa menjadikan Jepang yang memiliki Incarceration Rates 33 dan tingkat hunian penjara hanya sebesar 56,6% sebagai standar target yang ingin dicapai.

Sisi Positif Amnesti

Dalam rancangan amnesti yang diajukan pemerintah, bagian utamanya adalah narapidana yang menderita penyakit serius atau gangguan jiwa. Selain itu, amnesti juga diperuntukkan bagi mereka yang terlibat dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan konflik di Papua, kasus ITE, dan kasus pemakaian narkoba. Pendekatan ini cukup bisa memperlihatkan sisi kemanusiaan yang kadang terlupakan dalam sistem peradilan, yang sering kali lebih mengutamakan hukuman ketimbang rehabilitasi. Pendekatan ini memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang sudah menunjukkan penyesalan, dengan standar yang jelas dan ketat tentunya, atau kondisi fisik dan mental yang memburuk,  dan disisi lain bisa menjadi cara yang cukup efektif untuk mengurangi beban penjara tanpa mengabaikan prinsip keadilan.

Sebagai tambahan, penelitian yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mengungkapkan bahwa sistem pemasyarakatan yang lebih menekankan pada rehabilitasi daripada hukuman dapat mengurangi angka residivisme (UNODC, 2019). Dengan demikian, kebijakan amnesti yang diusulkan bisa jadi merupakan langkah awal membuat sistem pemasyarakatan yang lebih humanis dengan tingkat hunian yang tidak overkapasitas sehingga program rehabilitasi dan reintegrasi sosial bisa dijalankan secara baik dengan harapan setelah bebas para narapidana akan bisa berbaur dalam masyarakat yang dengan demikian diharapkan tingkat kejahatan berulang akan berkurang.

Tantangan dan Risiko yang Perlu Diperhatikan

Meski amnesti ini memiliki potensi untuk memberikan solusi terhadap masalah overkapasitas penjara dan memperbaiki sistem pemasyarakatan, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah keadilan bagi korban-korban dari para narapidana yang akan mendapatkan amnesti ini. Kasus-kasus seperti pelanggaran UU ITE, yang masih sering dianggap kontroversial bahkan terkadang menyebabkan pembelahan ditengah masyarakat, dapat menimbulkan pro dan kontra di semua level masyarakat. Selain itu, memberikan amnesti kepada narapidana yang terlibat dalam kasus-kasus tertentu, seperti narapidana yang terlibat dalam gerakan separatisme di Papua, juga memunculkan pertanyaan tentang apakah kebijakan ini dapat meredakan ketegangan sosial atau justru memperburuk keadaan. Apakah sebelum amnesti telah dilakukan pembinaan yang cukup sehingga jika mereka dibebaskan maka mereka akan bisa bergabung dengan masyarakat dan tidak akan mengulangi tindakan separatisme kembali.

Beberapa kritik terhadap amnesti semacam ini mengingatkan pada pengalaman negara-negara lain, di mana pemberian amnesti terhadap kelompok tertentu dapat memunculkan ketidakadilan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan. Dalam studi oleh International Center for Transitional Justice (2009), disebutkan bahwa pemberian amnesti dapat memperburuk ketegangan sosial dengan menciptakan persepsi bahwa kelompok atau individu tertentu berada di atas hukum; juga dapat merusak kepercayaan pada lembaga pemerintah dan peradilan, ketika masyarakat merasa bahwa pelaku kekerasan tidak dimintakan pertanggungjawaban yang seharusnya; bahkan  dapat secara tidak sengaja mendorong kekerasan lebih lanjut, karena para pelaku kejahatan mungkin percaya bahwa mereka memiliki impunitas sehingga dapat melakukan apapapun yang mereka inginkan tanpa harus menerima resiko dari perbuatan tersebut.

Kesimpulan: Reformasi Diperlukan

Sebagai seseorang yang mengamati masalah-masalah sosial dan hukum, saya berpendapat bahwa amnesti ini dapat dipandang sebagai sebuah langkah awal menuju reformasi sistem pemasyarakatan yang lebih humanis yang berbasis pada rehabilitasi. Namun, semua pihak harus menyadari bahwa keberhasilan dari kebijakan ini sangat bergantung pada pelaksanaan yang harus sesuai standar yang sudah ditetapkan, transparan dan adil. Pemerintah dan lembaga terkait harus memastikan bahwa amnesti ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik, bisnis, keluarga, dan kelompok, atau digunakan untuk menyebabkan kerugian pada pihak tertentu. Dan satu hal yang pasti, amnesti bukanlah solusi tunggal, tetapi bisa menjadi langkah awal menuju sistem pemasyarakatan yang lebih baik dan lebih humanis bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu semua pihak harus terus mengawal agar reformasi sistem pemasyarakatan ini tidak terhenti hanya pada pemberian amnesti semata, melainkan terus berjalan menuju standar baik yang sudah diterapkan dibeberapa negara lain.

 

Yogyakarta, 18-12-2024

Penulis adalah Muhammad Aga Sekamdo, Dosen STIA Madani Klaten sekaligus Dewan Pengawas Kolaborasi Pemuda Indonesia (KOPI).

sumber: kabarbaru 02/01/2025 arsip publikasi

You Might Also Like

0 komentar

recent posts

Follow My Facebook